Gadged Multi Fungsi

Formulir Kontak

KONTAK KAMI

Silahkan isi formulir di bawah ini untuk menghubungi kami

Name

Email

Message

Ketika Nasibmu dipengaruhi Drama Korea


Ketika Nasibmu dipengaruhi Drama Korea



You experience what you believe.

"Aku kesel sama film ini," ujar isteriku saat menonton "A World of Married Couple". Meski begitu ia tetap saja menonton drakor ini hingga episode tiga. "Coba lihat! Masak di acara kayak gini, mereka pegang-pegangan tangan. Siapa yang nggak mau nimpuk coba?!".

Tadi pagi kulihat status sahabat Smule-ku yang juga legend lagu-lagu lawas Cece Rani, berisi 'kegeramannya' atas tokoh pelakor ini. "Gara-gara pelakor sinting ini emak-emak istri sah +62 bersatu. Benar-benar pelakor pemersatu bangsa. Liat mukanya rasanya pingin gua olesin potekan cabe rawit Bogor merata. Menyesal nonton serial ini, vertigo kumat, darah naik, jantung berdebar, sesak napas, sakit gigi depan ama belakang bersamaan. Laki gue gak napa-napa tapi rasanya pengen gue omelin mulu gara-gara nih serial," katanya.

Respon isteriku dan Rani yang dipicu oleh tontonan fiktif itu secara fisiologis real, bukan fiktif. Ini bukan soal salah-benar, melainkan soal berguna atau tidak. Respon itu menjadi tidak berguna jika menghasilkan psikosomatis, tapi sekaligus juga menjadi berguna sebagai pesan terhadap suami masing-masing: "Jangan macam-macam lu!".

Begitulah. Pikiran bawah sadar tidak membedakan mana yang kenyataan mana yang fiktif.

Apalagi sekarang era post-truth. Seseorang dapat meyakini mutlak suatu hoax sebagai kebenaran.

Ketika emosi terlibat, maka apa yang seseorang lihat, dengar, rasakan, dan beri arti, bisa secepat kilat menjadi frame yang mengatur cara berpikir, merasa, berucap, dan bertindak. Dari tindakan itulah lahir nasib.

Kebanyakan hidup seseorang menderita oleh pikirannya sendiri -- oleh keinginannya sendiri. Saya pernah menyaksikan ekspresi kecewa maha berat dari seorang peserta kuis, karena dia gagal mendapatkan ratusan juta rupiah dan 'jatuh' ke titik aman ketiga yang nilainya puluhan juta rupiah. Bayangkan, ia datang ke studio itu bermodal ongkos transportasi plus modal beli baju dan dandan -- lalu mendapatkan puluhan juta rupiah, tapi masih kecewa dan menderita juga!.

Lebih dari duapuluh tahun lalu, saya berada di tengah rombongan teman-teman kantor yang sedang piknik ke daerah Garut. Bis berhenti di depan sederet toko jaket kulit. Karena seluruh penumpang turun, sayapun ikut turun. Saya tiba di sebuah kios yang memajang jaket-jaket kulit yang ciamik. Pandangan saya tertuju ke sebuah jaket yang membuat saya langsung tergiur memilikinya.

"Berapa nih a' ...?" tanya saya.
"Empat ratus ribu", sodor si aa' penjual.
"Wah, duaratus limapuluh ya", Tawar saya.
"Nggak bisa a', tigaratuslimapuluh ...."
Saya tetap bertahan di angka 250 ribu. Sementara, si Aa terus menurunkan offering price-nya. Sampai akhirnya si Aa mematok final price Rp 285 ribu, dan saya di posisi Rp 260 ribu.

"Jadi nggak boleh 260 ribu nih ?", tanya saya tegas.

"Wah, nggak bisa deh a, terakhir 285", kata si penjual.

Akhirnya saya ngeloyor pergi menuju bis. Menjelang keberangkatan ke Jakarta, teman saya Slamet Sudarsono yang sedari tadi bersama saya tampak tidak habis pikir.

"Mas, nggak jadi ngambil jaketnya ?", tanya Mas Slamet.

"Nggak. Dia nggak mau 260, mintanya 285", kata saya.

"Nggak nyesel mas? Cuma tinggal 25 ribu lagi lho. Di Jakarta harganya bisa 350-an".

"Nggak ..", jawab saya.

"Kok bisa nggak nyesel?", Dia keheranan.

"Gampang, hilangkan saja keinginan beli jaket.", jawab saya datar.

"Kok gitu ?", tanya dia.

"Gini. Tadi saya tidak punya keinginan untuk beli jaket, lalu saya melihat ada jaket bagus, seketika muncul keinginan memiliki jaket itu. Kalau keinginan itu tidak tercapai, ya tinggal dihilangkan saja seperti seperti sedia kala, sebelum lihat jaket. Kalau saya menyesal, lalu terbayang-bayang si jaket, maka hidup saya setelah itu dibikin menderita bayangan 'seandainya saya punya jaket'. Saya beli jaket itu untuk membuat gembira. Sekarang kalau saya bisa mengontrol keinginan saya sendiri, sadar jaket kulit belum jadi kebutuhan saya, lalu saya berhasil menyembuhkan 'kekurangan' saya akan Want -- bukan Need -- lalu saya gembira tanpa jaket itu, apa bedanya ?


Penulis : Prasetya M Brata
Link Source : https://www.facebook.com/100009132302617/posts/2539383213042731/


Ulasan saya, Hikmah Tulisan Pak Pras

Ada beberapa point penting di tulisan pak pras itu. Perhatikan baik-baik..

You experience what you believe.
Anda mengalami nasib sesuai dengan Apa yang anda terima, percaya, dan yakini di dalam pikiran bawah sadar anda

Respon Anda adalah Real walau yang anda hadapi itu hanya imajinasi, fantasi, khayalan, & fiktif.

Dalam tulisan itu, Respon ibu-ibu yang dipicu oleh Tontonan Fiktif itu secara Fisiologis adalah Real, bukan fiktif.

Respon ini bukan soal salah atau benar, melainkan soal Berguna atau tidak.

Respon itu menjadi tidak berguna jika menghasilkan penyakit psikosomatis.

Apalagi jika tercetak menjadi Program Pikiran yang mempengaruhi sikap, perilaku, kata-kata, bahkan nasib. Bukankah ini berbahaya jika pikiran kita diprogram ke arah yang tidak jelas?

Pikiran bawah sadar tidak membedakan mana yang kenyataan mana yang fiktif.

Apalagi sekarang era post-truth, era doktrinasi, era propaganda, & era Iklan dimana-mana.

Seseorang dapat meyakini dengan mutlak suatu Hoax sebagai Kebenaran.

Salah satu Contohnya adalah efek propaganda iklan berlian. Yang akhirnya menjadi tradisi horang kayah, Seolah-olah pertunangannya belum sah jika belum pakai cincin berlian.

Dan banyak lagi propaganda iklan yang menjadikan sesuatu yang bukan kebutuhan, akhirnya menjadi kebutuhan.

Ketika emosi terlibat, maka apa yang seseorang lihat, dengar, rasakan, dan beri arti, bisa secepat kilat menjadi frame (Pola Fikir) yang mengatur cara berpikir, merasa, berucap, dan bertindak. Dari tindakan itulah lahir Nasib.

Kebanyakan hidup seseorang menderita oleh pikirannya sendiri, oleh keinginannya sendiri.

Dalam tulisan itu dicontohkan betapa seseorang jadi menderita walau sudah dapat hadiah puluhan juta, hanya gara-gara gak dapat hadiah yang ratusan juta.

At last but Not Least..
Bedakan antara Keinginan (Want) dengan Kebutuhan (Need).

Need, adalah sesuatu yang jika tidak terpenuhi maka kelangsungan hidup kita jadi terganggu.

Want, adalah sesuatu yang walau jika tidak terpenuhi. Everything masih baik-baik saja.

Maka dengan sadar dan menyadari apa Need kita. Dengan mudah kita akan mampu mengontrol keinginan.

Nb.
Pak Prasetya M Brata adalah salah satu guru saya. Jadi saya senang berbagi dengan anda mengenai tulisan-tulisan beliau yang bermanfaat.

Demikian...
KEMBALI KE DAFTAR ISI


PERINGATAN!!!
Dilarang Menyebar Luaskan Materi dalam Pelatihan ini tanpa seizin Guru Besar.

SEMBUH TUMBUH AMPUH

Back To Top

Scroll to top